Etimologi dari kata Yunani suneidêsis (padanan katanya dalam bahasa Latin conscientia) memberi kesan bahwa artinya yang biasa ialah pengetahuan pendamping, atau kecakapan untuk pengetahuan bersama dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, hati nurani mengandung dalamnya lebih daripada hanya kesadaran atau penginderaan, karena kata ini mencakup juga penghakiman (dalam Alkitab memang penghakiman moral) atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan sadar.
I. Latar belakang
Istilah suneidêsis hampir sama sekali tidak ada pada LXX. Kalau konsep yang ditunjuk itu tidak dapat dipandang sebagai penemuan Perjanjian Baru (bandingkan arti yang baru diberikan dalam Perjanjian Baru terhadap istilah agapê), maka asalnya harus dicari dalam hubungannya dengan gagasan Helenistis, bukan gagasan Ibrani. Ada yang memilih bahwa istilah itu berasal dari Stoa.
Tapi ada pula yang menguraikan, sumber dan asal pemakaian Paulus akan istilah suneidêsis itu dari pemikiran Yunani populer, yang bukan bersifat filsafat, dan sampai kepada kesimpulan, bahwa kata itu termasuk kelompok kata dan ungkapan yang berulangkali muncul di seiuruh deretan tulisan Yunani sebagai kesatuan pada abad 6 sebelum Masehi hingga abad 7 Masehi.
Sementara itu ada teolog lain mengemukakan bahwa suneidêsis adaiah istilah yang diambil alih dari filsafat moral yang popular ke dalam Perjanjian Baru, dan di situ ditafsirkan lagi. Kata asasi dari kelompok ini ialah sunoida, yang jarang muncul dalam Perjanjian Baru dan yang artinya aku tahu bersama-sama dengan, yang jika diperas berarti aku bersaksi, atau seperti yang dipakai dalam susunan khusus auto suneidenai, hauto suneidenai, sesuatu yang sejiwa dengan membagikan pengetahuan dengan dirinya sendiri (1 Korintus 4:4). Tapi perbedaan-perbedaan yang ada antara istilah suneidesis seperti yang terdapat pada gagasan Yunani dan seperti yang dipakai oleh penulis-penulis Perjanjian Baru, bukanlah dalam hal isi melainkan dalam hal tekanan, dan harus diterangkan oleh pemikiran Alkitab yang sama sekali baru dan kaya. Pemakaian Perjanjian Baru akan hati nurani itu harus dipandang dengan latar belakang gagasan tentang Allah, yang kudus dan benar, Khalik dan Hakim, tapi juga Penyelamat dan Penyegar.
II. Arti
Tapi kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa dalam Perjanjian Baru muncui suatu konsep yang diacu dengan kata suneidêsis yang dikembangkan melebihi, jika tidak berbeda, dari arti yang berlaku sebelumnya. Bagi filsafat Yunani dan Perjanjian Lama juga, rujukan adalah kepada kedudukan atau kepada hukum bagi penghakiman atas perbuatan. Tapi pada 1 Samuel 24:6, misalnya hati dalam ungkapan berdebar-debarlah hati Daud berfungsi sebagai hati nurani. Sebenarnya ini sesuai dengan arti yang menjadi tolok ukur bagi suara hati yang terdapat dalam bahasa Yunani populer, yaitu sakit yang diderita orang sebagai manusia, jika dalam perbuatan-perbuatannya yang dimulai atau yang sudah selesai ia melanggar batas-batas moral tabiatnya. Satu-satunya pemunculan kata suneidêsis daiam LXX ialah Pengkhotbah 10:20, "Dalam pikiranmu janganlah engkau mengutuki raja" (en suneidêsis sou) (LAI menerjemahkan pikiran). Tapi ini tidak sesuai dengan pola yang baru saja dikemukakan, dan hanya dalam Kebijaksanaan Salomo 17:11, satu-satunya pemunculan istilah itu yang jelas pada Kitab Apokrifa (dalam bentuknya yang mutlak) dan yang mirip dengan pemakaian Perjanjian Baru.
III. Perjanjian Baru
Kata suneidêsis sering dipakai dalam Surat-surat Paulus dan juga dalam Ibrani, 1 Petrus dan dua (dari Paulus) pada pidato dalam Kisah Para Rasul. Kata itu juga muncul dalam ungkapan dihukum oleh suara hati mereka sendiri yang terdapat pada beberapa naskah, antara lain Yohanes 8:9, sekalipun ditolak oleh para penterjemah Alkitab Indonesia, karena dipandang sebagai tidak asli.
* Yohanes 8:9,
"Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya."
oi de {tetapi} akousantes {mendengar} kai {dan} hupo {oleh} tês suneidêseôs {hati nurani} elegkhomenoi {dihukum} exêrkhonto {pergi} heis kath heis {seorang demi seorang} arxamenoi {mulai} apo {dari} tôn {yang} presbuterôn {tertua} [heôs {hingga} tôn {yang} eskhatôn {terakhir}] kai {dan} kateleiphthê {tinggallah} monos {seorang diri} ho iêsous {Yesus} kai {dan} hê gunê {perempuan} en {di} mesô {tempatnya} housa {berdiri}
Pemakaian suneidêsis yang paling khas oleh Paulus adalah dalam Roma 2:14 dan ayat-ayat berikutnya. Bagian Alkitab ini berkata bahwa penyataan umum Allah mengenai diri-Nya sendiri, sebagai yang baik dan yang menuntut kebaikan, menghadapi segenap umat manusia dengan tanggung jawab moral. Bagi orang Yahudi tuntutan-tuntutan Ilahi itu telah tersimpul dalam hukum Taurat, sedang bagi non-Yahudi oleh dorongan sendiri melakukan apa yang dituntut Taurat. Tapi pengakuan atas kewajiban-kewajiban kudus mereka, baik Yahudi maupun non-Yahudi, itulah yang dipahami secara pribadi (taurat ditulis di dalam hati mereka, ayat 15) dan, menurut jawaban pribadi, dihukum secara moral (dan suara hati mereka turut bersaksi dengan pikiran mereka, LAI). Dan sekalipun suara hati dimiiiki oleh semua orang, dan menjadi alat untuk secara aktif menghargai sifat dan kehendak ilahi, namun karena hati nurani juga menempatkan manusia sebagai hakimnya sendiri, maka hati nurani dapat dipandang sekaligus sebagai kuasa terpisah dari manusia.
*Roma 9:1,
"Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus"
alêtheian {kebenaran} legô {aku mengatakan} en {dalam} khristô {Kristus} ou {tidak} pseudomai {berdusta} summarturousês {kesaksian} moi {-ku} tês suneidêseôs {suara hati} mou {-ku} en {dalam} pneumati {Roh} hagiô {Kudus}"
Di sinilah dapat dilihat pengertian suneidêsis dalam pikiran Paulus mulai jelas. Paulus dipaksa untuk mendapatkan suatu tempat bagi slogan Korintus dalam kerangka menyeluruh, sebab ia dipaksa oleh pertentangan-pertentangan dengan dunia non-Kristen. Apakah Paulus memandangnya sebagai sifat negatif atau tidak, kenyataan ialah bahwa hati nurani dalam kerangka pikiran Paulus berarti yang diderita orang jika ia telab berbuat salah (lihat Roma 13:5, di mana Paulus menuntut penaklukan diri demi suneidêsis, suara hati, dan demi orgê, kemurkaan - penjelmaan secara pribadi dan secana sosial dari penghakiman Allah).
Istilah suneidêsis hampir sama sekali tidak ada pada LXX. Kalau konsep yang ditunjuk itu tidak dapat dipandang sebagai penemuan Perjanjian Baru (bandingkan arti yang baru diberikan dalam Perjanjian Baru terhadap istilah agapê), maka asalnya harus dicari dalam hubungannya dengan gagasan Helenistis, bukan gagasan Ibrani. Ada yang memilih bahwa istilah itu berasal dari Stoa.
Tapi ada pula yang menguraikan, sumber dan asal pemakaian Paulus akan istilah suneidêsis itu dari pemikiran Yunani populer, yang bukan bersifat filsafat, dan sampai kepada kesimpulan, bahwa kata itu termasuk kelompok kata dan ungkapan yang berulangkali muncul di seiuruh deretan tulisan Yunani sebagai kesatuan pada abad 6 sebelum Masehi hingga abad 7 Masehi.
Sementara itu ada teolog lain mengemukakan bahwa suneidêsis adaiah istilah yang diambil alih dari filsafat moral yang popular ke dalam Perjanjian Baru, dan di situ ditafsirkan lagi. Kata asasi dari kelompok ini ialah sunoida, yang jarang muncul dalam Perjanjian Baru dan yang artinya aku tahu bersama-sama dengan, yang jika diperas berarti aku bersaksi, atau seperti yang dipakai dalam susunan khusus auto suneidenai, hauto suneidenai, sesuatu yang sejiwa dengan membagikan pengetahuan dengan dirinya sendiri (1 Korintus 4:4). Tapi perbedaan-perbedaan yang ada antara istilah suneidesis seperti yang terdapat pada gagasan Yunani dan seperti yang dipakai oleh penulis-penulis Perjanjian Baru, bukanlah dalam hal isi melainkan dalam hal tekanan, dan harus diterangkan oleh pemikiran Alkitab yang sama sekali baru dan kaya. Pemakaian Perjanjian Baru akan hati nurani itu harus dipandang dengan latar belakang gagasan tentang Allah, yang kudus dan benar, Khalik dan Hakim, tapi juga Penyelamat dan Penyegar.
II. Arti
Tapi kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa dalam Perjanjian Baru muncui suatu konsep yang diacu dengan kata suneidêsis yang dikembangkan melebihi, jika tidak berbeda, dari arti yang berlaku sebelumnya. Bagi filsafat Yunani dan Perjanjian Lama juga, rujukan adalah kepada kedudukan atau kepada hukum bagi penghakiman atas perbuatan. Tapi pada 1 Samuel 24:6, misalnya hati dalam ungkapan berdebar-debarlah hati Daud berfungsi sebagai hati nurani. Sebenarnya ini sesuai dengan arti yang menjadi tolok ukur bagi suara hati yang terdapat dalam bahasa Yunani populer, yaitu sakit yang diderita orang sebagai manusia, jika dalam perbuatan-perbuatannya yang dimulai atau yang sudah selesai ia melanggar batas-batas moral tabiatnya. Satu-satunya pemunculan kata suneidêsis daiam LXX ialah Pengkhotbah 10:20, "Dalam pikiranmu janganlah engkau mengutuki raja" (en suneidêsis sou) (LAI menerjemahkan pikiran). Tapi ini tidak sesuai dengan pola yang baru saja dikemukakan, dan hanya dalam Kebijaksanaan Salomo 17:11, satu-satunya pemunculan istilah itu yang jelas pada Kitab Apokrifa (dalam bentuknya yang mutlak) dan yang mirip dengan pemakaian Perjanjian Baru.
III. Perjanjian Baru
Kata suneidêsis sering dipakai dalam Surat-surat Paulus dan juga dalam Ibrani, 1 Petrus dan dua (dari Paulus) pada pidato dalam Kisah Para Rasul. Kata itu juga muncul dalam ungkapan dihukum oleh suara hati mereka sendiri yang terdapat pada beberapa naskah, antara lain Yohanes 8:9, sekalipun ditolak oleh para penterjemah Alkitab Indonesia, karena dipandang sebagai tidak asli.
* Yohanes 8:9,
"Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya."
oi de {tetapi} akousantes {mendengar} kai {dan} hupo {oleh} tês suneidêseôs {hati nurani} elegkhomenoi {dihukum} exêrkhonto {pergi} heis kath heis {seorang demi seorang} arxamenoi {mulai} apo {dari} tôn {yang} presbuterôn {tertua} [heôs {hingga} tôn {yang} eskhatôn {terakhir}] kai {dan} kateleiphthê {tinggallah} monos {seorang diri} ho iêsous {Yesus} kai {dan} hê gunê {perempuan} en {di} mesô {tempatnya} housa {berdiri}
Pemakaian suneidêsis yang paling khas oleh Paulus adalah dalam Roma 2:14 dan ayat-ayat berikutnya. Bagian Alkitab ini berkata bahwa penyataan umum Allah mengenai diri-Nya sendiri, sebagai yang baik dan yang menuntut kebaikan, menghadapi segenap umat manusia dengan tanggung jawab moral. Bagi orang Yahudi tuntutan-tuntutan Ilahi itu telah tersimpul dalam hukum Taurat, sedang bagi non-Yahudi oleh dorongan sendiri melakukan apa yang dituntut Taurat. Tapi pengakuan atas kewajiban-kewajiban kudus mereka, baik Yahudi maupun non-Yahudi, itulah yang dipahami secara pribadi (taurat ditulis di dalam hati mereka, ayat 15) dan, menurut jawaban pribadi, dihukum secara moral (dan suara hati mereka turut bersaksi dengan pikiran mereka, LAI). Dan sekalipun suara hati dimiiiki oleh semua orang, dan menjadi alat untuk secara aktif menghargai sifat dan kehendak ilahi, namun karena hati nurani juga menempatkan manusia sebagai hakimnya sendiri, maka hati nurani dapat dipandang sekaligus sebagai kuasa terpisah dari manusia.
*Roma 9:1,
"Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus"
alêtheian {kebenaran} legô {aku mengatakan} en {dalam} khristô {Kristus} ou {tidak} pseudomai {berdusta} summarturousês {kesaksian} moi {-ku} tês suneidêseôs {suara hati} mou {-ku} en {dalam} pneumati {Roh} hagiô {Kudus}"
Di sinilah dapat dilihat pengertian suneidêsis dalam pikiran Paulus mulai jelas. Paulus dipaksa untuk mendapatkan suatu tempat bagi slogan Korintus dalam kerangka menyeluruh, sebab ia dipaksa oleh pertentangan-pertentangan dengan dunia non-Kristen. Apakah Paulus memandangnya sebagai sifat negatif atau tidak, kenyataan ialah bahwa hati nurani dalam kerangka pikiran Paulus berarti yang diderita orang jika ia telab berbuat salah (lihat Roma 13:5, di mana Paulus menuntut penaklukan diri demi suneidêsis, suara hati, dan demi orgê, kemurkaan - penjelmaan secara pribadi dan secana sosial dari penghakiman Allah).
Dari situlah manusia dibebaskan oleh kematian bagi dosa melalui dan dengan menjadikannya satu dengan Kristus (bandingkan dengan Roma 7:15 dan 8:2).
Pada waktu yang bersamaan mungkin juga hati nurani -yaitu alat yang dengannya orang memahami tuntutan-tuntutan moral Allah, dan yang menyebabkan derita baginya jika ia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan itu - tidak cukup ditertibkan atau diberi pengetahuan (1 Korintus 8:7), atau menjadi lemah (1 Korintus 8:11), bahkan dirusakkan (1 Korintus 8:7, bandingkan dengan Titus 1:15), atau menjadi terbakar dan tak peka (1 Timotius 4:2). Karena itu perlu sekali hati nurani dibina secara wajar dan sungguh-sungguh diberi penerangan oleh Roh Kudus. Inilah sebabnya mengapa hati nurani dan iman tak dapat dipisahkan. Dengan penyesalan dan iman orang dibebaskan dari hati nurani sebagai derita; tapi iman juga menjadi alat yang dengannya hati nurani disegarkan dan diberi penerangan. Berjalan dalam hidup yang baru (Roma 6:4) mencakup iman yang hidup dan tumbuh, yang dengannya orang Kristen terbuka bagi pengaruh Roh Kudus (Roma 8:4), dan pada sisi lain ini menjadi jaminan akan suatu hati nurani yang murni (1 Petrus 3:16).
Akhirnya pemakaian istiiah ini dalam Surat Ibrani, dimana penulis mengantarkan istilah itu dalam kedua hubungannya yang besar seperti telah disebut. Di bawah perjanjian yang lama hati nurani mengacaukan jalan masuk kepada Allah sendiri (9:9), sekalipun pembebasan telah dimungkinkan oleh karya Kristus dalam perjanjian yang baru (9:14), dan oleh pemberian hasil-hasil kematian Kristus melalui air murni (10:22; bandingkan dengan 1 Petrus 3:21). Karena itu dalam rangka pertumbuhan hidup Kristiani, hati nurani orang yang beribadah dapat diuraikan sebagai baik dalam arti yang dibicarakan di atas (Ibrani 13:18; catatlah pemakaian peithometha).
*Ibrani 13:18,
"Berdoalah terus untuk kami; sebab kami yakin, bahwa hati nurani kami adalah baik, karena di dalam segala hal kami menginginkan suatu hidup yang baik."
proseukhesthe {berdoalah} peri {untuk} hêmôn {kami} pepoithamen {yakin} gar {karena} oti kalên {baik} suneidêsin {hati nurani} ekhomen {memiliki} en {di dalam} pasin {segala hal} kalôs {yang baik} thelontes {akan} anastrephesthai {hidup}
Note:
Yakin diterjemahkan dari kata pepoithamen berasal dari kata kerja peithô, meyakinkan, membujuk, percaya, taat, memiliki keyakinan, percaya, menjadi yakin.
Kesimpulan:
Pada waktu yang bersamaan mungkin juga hati nurani -yaitu alat yang dengannya orang memahami tuntutan-tuntutan moral Allah, dan yang menyebabkan derita baginya jika ia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan itu - tidak cukup ditertibkan atau diberi pengetahuan (1 Korintus 8:7), atau menjadi lemah (1 Korintus 8:11), bahkan dirusakkan (1 Korintus 8:7, bandingkan dengan Titus 1:15), atau menjadi terbakar dan tak peka (1 Timotius 4:2). Karena itu perlu sekali hati nurani dibina secara wajar dan sungguh-sungguh diberi penerangan oleh Roh Kudus. Inilah sebabnya mengapa hati nurani dan iman tak dapat dipisahkan. Dengan penyesalan dan iman orang dibebaskan dari hati nurani sebagai derita; tapi iman juga menjadi alat yang dengannya hati nurani disegarkan dan diberi penerangan. Berjalan dalam hidup yang baru (Roma 6:4) mencakup iman yang hidup dan tumbuh, yang dengannya orang Kristen terbuka bagi pengaruh Roh Kudus (Roma 8:4), dan pada sisi lain ini menjadi jaminan akan suatu hati nurani yang murni (1 Petrus 3:16).
Akhirnya pemakaian istiiah ini dalam Surat Ibrani, dimana penulis mengantarkan istilah itu dalam kedua hubungannya yang besar seperti telah disebut. Di bawah perjanjian yang lama hati nurani mengacaukan jalan masuk kepada Allah sendiri (9:9), sekalipun pembebasan telah dimungkinkan oleh karya Kristus dalam perjanjian yang baru (9:14), dan oleh pemberian hasil-hasil kematian Kristus melalui air murni (10:22; bandingkan dengan 1 Petrus 3:21). Karena itu dalam rangka pertumbuhan hidup Kristiani, hati nurani orang yang beribadah dapat diuraikan sebagai baik dalam arti yang dibicarakan di atas (Ibrani 13:18; catatlah pemakaian peithometha).
*Ibrani 13:18,
"Berdoalah terus untuk kami; sebab kami yakin, bahwa hati nurani kami adalah baik, karena di dalam segala hal kami menginginkan suatu hidup yang baik."
proseukhesthe {berdoalah} peri {untuk} hêmôn {kami} pepoithamen {yakin} gar {karena} oti kalên {baik} suneidêsin {hati nurani} ekhomen {memiliki} en {di dalam} pasin {segala hal} kalôs {yang baik} thelontes {akan} anastrephesthai {hidup}
Note:
Yakin diterjemahkan dari kata pepoithamen berasal dari kata kerja peithô, meyakinkan, membujuk, percaya, taat, memiliki keyakinan, percaya, menjadi yakin.
Kesimpulan:
dapat kita lihat fungsi hati nurani sebagaimana istilah itu muncul dalam Perjanjian Baru, mengikuti dua garis perkembangan pokok: hati nurani ialah alat bagi penghakiman moral, penuh derita dan mutlak, karena penghakiman itu ialah penghakiman Ilahi atas perbuatan-perbuatan seseorang yang sudah berlangsung atau sedang berlangsung; dan hati nurani yang bertindak sebagai saksi dan pawang yang baik dalam aspek negatif maupun positif dari pengudusan perseorangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar